Oleh: Sherlyna Tea Kania, Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik FISIP Universitas Sriwijaya
Dinamika politik lokal didefinisikan sebagai suatu pergerakan maupun kekuatan yang berkembang di dalam politik tingkat lokal atau daerah, yang mana pergerakan maupun kekuatan tersebut dapat dilihat dari keberlangsungannya kontestasi politik seperti pemilihan kepala daerah dan pemilihan legislatif yang berada pada level lokal. Desa merupakan salah satu bagian terpenting dalam pelaksanaan demokratisasi di daerah. Meskipun termasuk sub sistem terendah, desa mempunyai kedudukan yang strategis karena sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di pedesaan, sehingga pemerintah sangat memperhatikan perkembangan maupun pembangunan desa.
Pilkades merupakan cara yang digunakan untuk menyeleksi calon kepala desa yang akan memimpin sebuah desa dalam waktu tertentu. Menurut Marno Wance dan Abd Halil Hi Ibrahim (2019) bahwa demokrasi dalam konteks pemilihan kepala desa (Pilkades) dapat dipahami sebagai pengakuan keanekaragaman serta sikap politik partisipasi dari masyarakat dalam bingkai demokratisasi di tingkat desa. Pemilihan kepala desa menjunjung dan dilandasi oleh nilai-nilai gotong royong dan asas kekeluargaan dengan dilakukan oleh masyarakat desa dan bertanggungjawab kepada masyarakat desa.
Dengan melihat sistem yang terdapat dalam pemerintahan desa, berarti kita dapat melihat gambaran dari proses pembangunan politik di Indonesia dengan sistem demokrasi dan pemilihan umum secara langsung. Tentunya dalam pemilihan kepala desa tidak terlepas dari dinamika dalam perkembangan politik lokal di tingkat desa. Masyarakat dihimbau agar memilih pemimpin yang bermoral baik, berkualitas dengan kecerdasan dalam mengatur program pembangunan desa, mampu membawa masyarakat dan desanya mencapai kesejahteraan, serta mengedepankan prakarsa masyarakat.
Dalam pemilihan kepala desa di Indonesia, sering kali kita dengar di media massa bahwasanya selama proses pemilihan kepala desa, calon kandidat melakukan segala upaya untuk memenangkan pemilihan tersebut, tak terkecuali melakukan kecurangan seperti membagikan uang melalui para pendukungnya. Dalam hal ini, masyarakat tidak memilih calon kepala desa berdasarkan kepribadian maupun visi dan misinya, melainkan karena suatu pemberian baik materi ataupun fasilitas. Fenomena tersebut merupakan hal yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Namun, bagaimana jika masyarakat memilih seorang kepala desa karena merasa kasihan atau dalam bahasa Jawa, mesakne? Saya coba beragumentasi terhadap persoalan ini. Jika kepala desa dipilih semata-mata karena rasa kasihan, bisa berdampak negatif karena kemampuan dan kualifikasi kepemimpinan menjadi terabaikan. Ini bisa mengarah pada pengambilan keputusan yang tidak efektif dan penyelesaian masalah yang kurang optimal.
Memilih kepala desa karena rasa kasihan bisa menciptakan dilema moral. Meskipun bisa dimengerti mengapa masyarakat merasa kasihan, pemilihan kepala desa seharusnya didasarkan pada kualifikasi, rencana aksi yang kuat, dan komitmen untuk memperbaiki kesalahan masa lalu, bukan hanya berdasarkan emosi belaka. Bisa dilihat di berbagai media massa, berbagai konflik yang terjadi pasca pemilihan kepala desa akibat salah memilih pemimpin.
Saya mempunyai pengalaman yang tidak mengenakkan di suatu desa, yang mana kepala desanya dipilih oleh masyarakat karena ‘kasihan’. Kepala desa tersebut di periode sebelumnya telah melakukan pencalonan beberapa kali, namun selalu gagal atau belum berhasil terpilih. Alhasil, di pencalonannya yang terakhir, barulah ia terpilih. Tidak masalah jika kinerja yang diberikan kepala desa dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan pedoman, toh hal tersebut justru sangat menguntungkan desa maupun masyarakatnya. Tetapi, yang menjadi masalah ialah kepala desa yang terpilih tersebut telah dicap mayoritas masyarakat sebagai pemimpin yang ‘problematik’. Tidak usah jauh-jauh mengarah ke pelayanan publik, dari segi etika saja kalau sudah dinilai ‘buruk’, maka hilanglah wibawa kepala desa tersebut. Jika masyarakat sudah enggan untuk berurusan dengan kepala desa, bahkan sekadar bertegur sapa pun mereka sungkan, menandakan bahwa kepercayaan dan hubungan antara kepala desa dengan masyarakat sudah rusak. Ini bisa disebabkan oleh perilaku atau kebijakan yang kontroversial, kurangnya transparansi, atau ketidakmampuan kepala desa untuk memahami dan mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat.
Dana Desa. Kasus terkait kepala desa yang sering berseliweran di timeline selalu berkaitan dengan dana desa. Seperti penyalahgunaan anggaran dana desa, dimana pada Rencana Anggaran Belanja (RAB) dan laporan pertanggungjawaban ada pembelian ‘sesuatu’, namun bentuk ‘fisiknya’ nol besar. Setiap jatuhnya schedule pencairan dana, kepala desa yang ‘nakal’ seringkali terlihat melakukan pembangunan atau renovasi rumah, namun tidak terlihat adanya realisasi pembangunan, lalu enggan berkoordinasi dengan perangkat desa lainnya, bahkan masyarakat pun tidak mengetahui bahwa adanya suatu program yang dicanangkan di desa tersebut. Tetapi, di laporan malah tercantum jumlah penggunaan dana yang dipakai pada program.
Kasus seperti itu bisa sangat merugikan masyarakat. Pertama, terjadinya keterhambatan pembangunan. Dana desa yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan program-program kesejahteraan masyarakat dapat terhambat atau bahkan tidak tersalurkan dengan baik akibat penyalahgunaan, contohnya yang sering terjadi terkait penyalahgunaan dana untuk perbaikan fasilitas jalan. Kedua, mengakibatkan kerusakan layanan publik, contohnya di bidang kesehatan yang mana di desa terdapat Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) sebagai wadah bagi kesehatan masyarakat desa, tetapi tidak berjalan dikarenakan anggaran Poskesdes belum jelas realisasinya. Seharusnya, bidan desa dilibatkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan penggunaan dana agar terciptanya susunan program kesehatan yang efektif. Ketiga, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap kepala desa dan pemerintah desa, serta mungkin merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan dana desa. Keempat, rusaknya hubungan sosial yang dapat menciptakan ketegangan dan konflik di antara masyarakat desa, terutama jika ada anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh praktik korupsi tersebut. Dinamika politik lokal dapat memperkuat budaya korupsi di tingkat desa, di mana dana desa dimanfaatkan secara tidak sah untuk memperkaya diri sendiri atau pihak-pihak tertentu tanpa memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat.
Sebenarnya, boleh saja memilih kepala desa yang pernah gagal dalam pencalonan sebelumnya, namun memiliki rekam jejak yang baik. Itu adalah keputusan yang dapat dipertimbangkan. Kinerja bagus dan pengalaman sebelumnya adalah faktor penting dalam mengevaluasi seorang calon, tetapi juga penting untuk memperhitungkan apakah calon tersebut masih memiliki visi dan komitmen yang diperlukan untuk masa jabatan yang baru. Selalu penting untuk menilai secara cermat semua aspek sebelum membuat keputusan.